Selasa, 20 Maret 2012

TAKLIK TALAK DALAM PERSPEKTIF KOMPILASI HUKUM ISLAM, ULAMA MADZHAB DAN PENGARUHNYA TERHADAP MASYARAKAT


BAB I
A.    Latar Belakang
Dalam Pendahuluan Pasal 38 Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 pada Bab VIII tentang Perkawinan disebutkan bahwa perkawinan dapat putus karena tiga hal, yaitu karena kematian, karena perceraian dan atas putusan pengadilan.
Putusnya perkawinan karena perceraian, di Indonesia pada umumnya mengunakan lembaga taklik talak (cerai talak). Namun tidak sedikit dari masyarakat yang putus hubungan perkawinannya karena putusan pengadilan, diantaranya ialah gugat cerai dengan alasan pelanggaran taklik talak. Lembaga taklik talak di Indonesia telah ada sejak zaman dahulu. Kenyataan yang ada sampai saat ini menunjukkan bahwa, hampir setiap perkawinan di Indonesia yang dilaksanakan menurut agama Islam selalu diikuti pengucapan sighat ta’lik thalak oleh suami setelah pengucapan ijab qabul. Sekalipun sifatnya suka rela yang mana telah berdasarkan kesepakatan antara kedua belah pihak, namun di negara ini, membaca taklik talak seolah-olah menjadi kewajiban yang harus dilaksanakan oleh suami.
Sighat ta’lik dirumuskan sedemikian rupa yang mempunyai tujuan untuk melindungi pihak isteri agar tidak diperlakukan sewenang-wenang oleh pihak suami. Sehingga apabila pihak isteri tidak ridha atas perlakuan suami, maka pihak isteri dapat mengajukan gugatan perceraian berdasarkan terwujudkan syarat ta’lik sebagaimana disebutkan di dalam sighat ta’lik.
Eksistensi taklik talak selama ini ternyata banyak melahirkan kontoversi, baik di kalangan fuqaha atau ulama Madzhab maupun para pengamat hukum Islam, yang mengakibatkan terwujudnya pengaruh negatif tentang adanya pengucapan taklik talak dalam sebuah perkawinan. Namun, tidak sedikt pula yang berfikiran positif dengan adanya sighat taklik talak bagi pasangan suami istri.
Permasalahan yang di angkat oleh penulis kali ini adalah permasalahan yang berkaitan tentang prosesi setelah terjadinya ijab qabul antara mempelai laki-laki dengan mempelai perempuan yang terlebih dahulu telah mencapai kata sepakat dalam mengarungi bahtera rumah tangga, yaitu pembacaan taklik talak dengan langgengnya rumah tangga tersebut dan pandangan tentang masyarakat sekitar tentang hal tersebut.
Pembacaan taklik talak di ucapkan oleh pihak laki-laki di hadapan para saksi dan juga telah di teliti oleh Petugas Pencatat Nikah (PPN) di hadapan semua orang dan mempelai wanita itu sendiri. Sehingga dari segi kekuatan hukum, isteri telah di bentengi oleh alat-alat bukti berupa catatan Pegawai Pencatat nikah (PPN), para saksi-saksi dan masyarakat yang hadir dalam prosesi tersebut.
B.     Rumusan Masalah
Mengenai pembacaan taklik talak yang terjadi di tengah-tengah masyarakat, maka penulis akan mencoba untuk merumuskan permaslahan yang terkait dengan taklik talak dalam kompilasi hukum islam (KHI) pandangan ulama Madzhab serta pengaruhnya terhadap masyarakat.
Maka untuk itu penulis akan mengajukan pertanyaan seperti berikut :
1.      Dasar taklik talak dalam Kompilasi Hukum Islam (KHI) ?
2.      Pandanagan ulama Madzhab tentang penggunaan atau pengucapan taklik talak dalam pernikahan ?
3.      Apa pengaruh pengucapan taklik talak dalam kehidupan berumah tangga ?
C.    Manfaat Penelitian
Dari apa yang telah di paparkan, maka penulis akan membeberkan manfaat dari penelitian literatur-literatur yang membahas tentang taklik talak, yang mana akan membantu dari pembaca apa yang tercantum dalam Kompilasi Hukum Islam (KHI) tentang taklik talak, pandangan ulama-ulama Madzhab tentang berlakunya pembacaan taklik talak setelah prosesi ijab qabul, serta pengaruh di kalangan masyarakat tentang pembacaan taklik talak.
  Selain membantu para pembaca yang ingin mengetahui problematika tentang taklik talak, juga sebagai bahan latihan bagi penulis untuk menuju tugas akhir dari seluruh perkuliahan, yaitu penulisan skripsi.
D.     Metode Penelitian.
Dari kasus yang penulis angkat dalam makalah ini, penulis menggunakan metode penelitian literatur-literatur yang memuat tentang hukum taklik talak, serta wawancara untuk memperkuat data yang berkaitan tentang pandangan masyarakat tentang taklik talak.
Literatur yang penulis teliti adalah Kompilasi Hukum Islam (KHI), Undang-undang Perkawinan Nomor. 1 Tahun 1974, kitab-kitab klasik yang memuat tentang pendapat-pendapat para ulama Madzhab mengenai taklik talak serta sumber-sumber yang penulis ambil dari internet tentang pengaruh taklik talak dalam kehidupan berumah tangga di kalangan masyarakat, dan yang terpentingadalah hasil dari wawancara yang penulis lakukan untuk mendukung penelitian ini.
a)      Kompilasi Hukum Islam (KHI)
Dalam Kompilasi Hukum Islam (KHI) pada Bab XVI pasal 113 disebutkan bahwa : “perkawinan dapat putus karena :
1.      Kematian,
2.      Perceraian, dan
3.      Putusan Pengadilan
Sedangkan dalam pasal selanjutnya yaitu pasal 116 di sebutkan bahwa “perceraian dapat terjadi karena alasan atau alasan-alasan :
1.      Salah satu piha berbuat zinaatau menjadi pemabuk, pemadat, penjudi dan lain sebagainyayang sukar disembuhkan;
2.      Salah satu pihak meninggalkan pihak lain selama 2 (dua) tahun berturut-turut tanpa izin pihak laindan tanpa alasan yang sah atau karena hal laindi luar kemampuannya;
3.      Salah satu pihak mendapat hukuman penjara 5 (lima) tahun atau hukuman yang lebih berat setelah perkawinan berlangsung;
4.      Salah satu pihak melakukan kekejaman atau penganiayaan berat yang membahayakan pihak yang lain;
5.      Salah satu pihak mendapat cacat badan atu penyakit dengan akibat tidak dapat menjalankan kewajibannya sebagai suami atau isteri;
6.      Antara suami isteri terus menerus terjadi perselisihan dan pertengkaran dan tidak ada harapan akan hidup rukun lagi dalam rumah tangga;
7.      Suami melanggar taklik talak;
8.      Peralihan agama atau murtad yang menyebabkan ketidak rukunan dalam rumah tangga.
Kemudian dari pasal yang berkaitan dengan kasus yang penulis angkat yaitu pada pasal 117.
Selain dari Kompilasi Hukum Islam (KHI), penulis juga mencari data dari Undang-undang Nomor. 1 Tahun 1974 tentang  Perkawinan. Dalam undang-undang ini pasal yang berkaitan dengan permaslahan taklik talak adalah pada pasal 29 Bab V tentang Perjanjian Perkawinan, yang berbunyi :
1.      Pada waktu sebelum perkawinan dilangsungkan, kedua belah pihak atas persetujuan bersama dapat mengadakan perjanjian tertulis yang disahlan oleh pegawai pencatat perkawinan, setelah mana isinya berlaku juga terhadap pihak ketiga sepanjang pihak tersangkut.
2.      Perjanjian tersebut tidak dapat disahkan bilamana melanggar batas-batas hukum, agama dan kesusilaan.
3.      Perjanjian tersebut berlaku sejak perkawinan dilangsungkan.
4.      Selama perkawinan berlangsung perjanjian tersebut tidak dapat dirubah, kecuali bila kedua belah pihak ada persetujuan untuk merubah dan perubahan tidak merugikan pihak ketiga.
Sedangkan dalam literatur kitab-kitab fiqih klasik menyatakan bahwa Sebagaimana penulis sebutkan di atas, bahwa para ahli hukum Islam berbeda pendapat dalam pembahasan mengenai taklik talak. Ibn Hazm berpendapat bahwa dari dua macam bentuk taklik talak, yaitu taklik qasamy dan taklik syarthi, keduanya tidak sah dan ucapannya tidak mempunyai akibat apa-apa. Alasannya karena Allah telah mengatur secara jelas mengenai talak, sedang taklik talak tidak ada tuntunannya dalam Alquran dan Sunnah.
Jumhur ulama berpendapat bahwa apabila seseorang telah mentaklikkan talaknya yang dalam wewenangnya dan telah terpenuhi syarat-syaratnya sesuai dengan yang dikehendaki oleh mereka masing-masing dalam artian kedua pasangan yang telah sah menjadi suami isteri, maka taklik itu dianggap sah untuk semua bentuk taklik, baik  taklik itu mengandung sumpah (qasamy) atau mengandung syarat biasa. Karena orang yang mentaklikkan talaknya itu tidak menjatuhkan talaknya pada saat orang itu mengucapkannya, akan tetapi orang itu menggantungkan talak kepada salah satu pihak apabila telah terpenuhinya  syarat yang terkandung dalam ucapannya dan di laporkan kepada pihak pengadilan agama dengan pelanggaran tersebut.
Kemudian untuk mendukung penelitian tentang taklik talak dalam perspektif Kompilasi Hukum Islam, Ulama Madzhab dan pengaruhnya terhadap masyarkat ini, penulis menggunakan metode wawancara dengan data responden sebagai berikut :
Responden pertama bernama Sulastri, umur 34 tahun, sudah menikah, dan berprofesi sebagai ibu rumah tangga. Kemudian penulis mengajukan beberapa pertanyaan tentang taklik talak, sebagai berikut :
Logista Denny Saputra (LDS) : apakah ibu mengerti apa yang dimaksud dengan taklik talak ?
Ibu sulastri : saya kurang mengetahui mas, soalnya saya tidak memperdulikan permasalahan itu. Yang penting saya bisa menikah dengan orang yang saya cintai, yaitu suami saya.
LDS : lalu apakah ibu tidak kawatir, apabila di suatu hari suami ibu melakukan kekerasan terhadap ibu ?
Ibu Sulastri : yaaaah, saya percaya kalau suami saya tidak akan melakukan itu. Saya Cuma berdoa saja tidak terjadi seperti itu.
LDS : kalau begitu apakah ibu tahu kalau suami ibu telah melanggar perjanjian tersebut, ibu dapat mengajukan cerai terhadap suami ibu dengan lebih dahulu mengajukan permaslahan ini ke pengadilan agama ?
Ibu Sulastri : kalau masalah itu, saya punya pengalaman dalam keluarga saya. Paman saya bercerai dengan istrinya karena tindak kekerasan ke istrinya.
LDS : berarti ibu sedikit banyaknya mengetahui tentang taklik talak yang kemudian di ajukan ke pengadilan agama ?
Ibu Sulastri : kalau sedikit saya tahu mas.
LDS : baik bu terima kasih atas informasinya.
Kemudian penulis melanjutkan pertanyaan untuk penelitian ini kepada suami dari ibu Sulastri, yaitu Bapak Darmawan Hadi, umur 38 tahun, sydah menikah, dan berprofesi sebagai guru Matematika di sebuah Sekolah Dasar.
LDS : bapak mengetahui apa yang di maksud dengan taklik talak ?
Bapak Darmawan : saya tahu tentang itu Cuma sedikit saja mas.
LDS : apa yang bapak ketahui ?
Bapak Darmawan : ya perjanjian suami kepada isteri untuk memenuhi kewajibannya.
LDS : kalau bapak melanggar perjanjian itu apakah bapak tahu akibatnya ?
Bapak Darmawan : iya mas, makanya saya akan selalu sabar untuk memenuhi kebutuhan keluarga saya.
LDS : baik pak terimakasih atas informasinya.



BAB II
A.    Paparan Data.
1.      Pengertian Taklik talak
Yang dimaksud dengan taklik talak ialah menyandarkan jatuhnya thalaq kepada sesuatu perkara, baik kepada aucapan, perbuatan maupun waktu tertentu. Hal ini dimaksudkan untuk  menjaga perbuatan sewenang-wenang dari pihak suami. Taklik talak ini dilakukan setelah akad nikah, baik langsung waktu itu maupun di waktu lain.
Dengan taklik talak ini berarti suami menggantungkan talaknya kepada perjanjian yang ia setujui. Apabila perjanjian itu dilanggar, dengan sendirinya jatuh talak kepada isterinya. Undang-Undang Perkawinan No. 1 Tahun 1974 merumuskan bunyi sighat taklik yang ditetapkan dalam Peraturan Menteri Agama No. 2 Tahun 1990, seperti di bawah ini:
Sesudah akad nikah saya.........bin.........berjanji dengan sesungguh hati, bahwa saya akan menepati kewajiban saya sebagai seorang suami, dan akan saya pergauli isteri saya bernama ........ binti....... dengan baik (mu’asyarah bil ma’ruf) menurut ajaran syariat Agama Islam
            Selanjutnya saya mengucapkan sighat ta’lik atas isteri saya itu sebagai berikut:
Sewaktu-waktu saya:
(1)   Meningalkan isteri saya tersebut enam bulan berturut-turut;
(2)   Atau saya tidak memberi nafkah wajib kepadanya tiga bulan lamanya;
(3)   Atau saya menyakiti badan/jasmani isteri saya itu;
(4)   Atau saya membiarkan (tidak memperdulikan) isteri saya itu enam bulan lamanya:
Kemudian isteri saya itu tidak ridha dan mengadukan halnya kepada Pengadilan Agama atau petugas yang diberi hak mengurusi pengaduan itu, dan pengaduannya dibenartkan serta diterima oleh pengadilan atau petugas tersebut, dan isteri saya membayar uang sebesar Rp. 1.000,- (seribu rupiah) sebagai iwadl (pengganti) kepada saya, makla jatuhlah talak saya satu kepadanya.
Kepada Pengadilan atau petugas tersebut tadi saya kuasakan untuk menerima uang iwadl (pengganti) itu dan kemudian menyerahkannya kepada Badan Kesejahteraan Masjid (BKM) Pusat, untuk keperluan ibadah sosial.
2.      Dinamika yang terjadi di masyarakat tentang taklik talak.
Berdasarkan pemaparan di atas, penulis menjabarkan bahwa keberadaan taklik talak sangatlah penting. Eksistensi taklik talak yang sudah ditopang oleh kekuatan hukum yang jelas dalam Kompilasi Hukum Islam serta pengaruhnya terhadap keberadaan wanita menambah pentingnya arti taklik talak dalam kehidupan rumah tangga.
Kedudukan wanita akan lebih berarti karena akan terhindar dari sikap kesewenang-wenangan suami, tanggung jawab suami sebagai pemimpin rumah tangga akan lebih dihargai dan pada akhirnya tentunya tercipta keluarga yang sakinah, mawaddah dan rahmah.
 Di dalam masalah taklik talak banyak sekali permasalahan yang sifatnya kontroversial. Hal ini terbukti dengan adanya beberapa pendapat dari beberapa pakar yang mempermasalahkan tentang kedudukan dan fungsi taklik talak tersebut, di mulai dari sebuah pertanyaan apakah taklik talak itu termasuk perjanjian perkawinan atau sebaliknya. Kemudian di awali dengan pertanyaan tersebut yang menjalar kepada kedudukan dan fungsi dari taklik talak tersebut ada kubu yang pro terhadap eksistensi dan relevan hingga saat ini dan kemudian ada kubu yang kontra terhadap permasalahan ini. Di dalam buku ini penulis mencoba sedikit memberikan tanggapan dan solusi terhadap permasalahan kontroversi taklik talak yang diambil dari wawancara dengan beberapa sumber yang akurat, kemudian dianalisis dengan data yang valid:
 Menurut beberapa sumber, mengatakan bahwa taklik talak merupakan hanya perjanjian biasa. Pendapat ini berdasarkan pada klausul yang berbunyi “Sesudah akad nikah, saya bin pulan saya berjanji dengan sesungguh hati saya akan menepati kewajiban saya sebagai seorang suamidan saya akan pergauli isteri saya yang bernama fulah binti fulan dengan baik ‘Muasyarah bil Makruf’ menurut syariat Islam”. Menurutnya kata kata berjanji di dalam klausul tersebut merupakan janji yang sifatnya harus dipenuhi dan mengikat bagi yang berjanji itu sendiri karena sesuai dengan ayat Al qur’an yang artinya ”Wahai orang-orang yang beriman penuhi oleh mu akan janji-janjimu”, sedangkan setelah kalimat “selanjutnya saya membaca sighat taklik talak dan seterusnya” itu tidak termasuk dalam kategori sebuah perjanjian. Sehingga dikatakan bahwa sighat taklik talak tidak termasuk kategori sebuah perjanjian perkawinan. Dengan demikian maka lahirlah Surat Edaran Dirjen Bimas Islam No : DJ 11/HK.00/074/2008 tanggal 30 juli 2008 disebutkan bahwa tidak mewajibkan pembacaan sighat taklik talak oleh pengantin pria pada saat akad nikah dan cukup ditandatangani karena mengganggu kekhidmatan pelaksanaan prosesi akad. Sehingga klausul sighat taklik talak dari kata kata “Selanjutnya saya membaca dan seterusnya” itu menjadi kontroversi karena seolah olah acara akad yang sifatnya sakral dimentahkan kembali karena pembacaan sighat taklik talak tersebut. Seperti orang Jawa bilang “wong penganten enggal ko sampun diajari cerai”
    Mengenai relevan atau tidaknya taklik talak adalah tergantung dari personalnya. Yaitu dari kedua pasangan tersebut. Artinya sangat kondisional. Kemudian mengenai konsep dari perjanjian perkawinan dan taklik talak itu terdapat beberapa perbedaan seperti kalau yang disebut dengan perjanjian itu orang yang mengucapkan itu lansung terikat dengan apa yang ia janjikan tersebut dan sifatnya langsung. Sedangkan kalau taklik talak itu hanya menggantungkan talak dan bukan perjanjian. Hal ini diperjelas dengan kata kata “sewaktu Waktu”. Ternyata meskipun perkara taklik talak tersebut masih dibaca, tetapi prosedur pengadilannya sama saja dengan perkara cerai gugat, jadi kenapa tidak mencukupkan saja dengan perkara cerai gugat.
  Mengenai iwadh apakah iwadl yang termaktub di dalam klausul sighat taklik talak masih relevan pada jaman sekarang ini? Tentunya tidak. Di dalam klausul disebutkan isteri kemudian membayarkan uang iwadh sebesar Rp 10.000 (sepuluh ribu rupiah). Pada zaman sekarang, dimana perekonomian bangsa Indonesia mengalami kanaikan yang cukup baik tentunya hal ini mengakibatkan akan terjadinya inflasi di mana mata uang rupiah semakin hari semakin kecil nilainya. Mengenai besar uang iwadl Rp 10.000 sudah tidak relevan pada saat sekarang ini sebab nominalnya sudah tidak memiliki nilai dan seharusnya dirubah nominal nya sesuai dengan inflasi atau kurs dollar ataupun harga emas.
Menurut penulis, isi dalam sighat tersebut adalah perjanjian perkawinan antara suami dan isteri. Dengan demikian menjadi semakin jelas bahwa ta’lik talak pada prinsipnya sama dengan perjanjian perkawinan. Artinya, ta’lik talak merupakan bagian dari perjanjian perkawinan. Dengan ungkapan lain, perjanjian perkawinan dapat dalam bentuk ta’lik talak dan dapat pula dalam bentuk lain di luar ta’lik talak. Sejalan dengan isi sighat taklik tersebut, maka ta’lik talak dalam perundang-undangan perkawinan Indonesia pun masuk pada pasal perjanjian perkawinan, yang tercantum pada Bab V, pasal 29 Undang-Undang No. 1 tahun 1974 tentang Perkawinan. Demikian juga perjanjian perkawinan dicantumkan dalam Kompilasi Hukum Islam Indonesia (KHI), yang diatur dalam Bab VII: Perjanjian Perkawinan (pasal 45 s/d 52).
Suatu perkawinan menurut hukum positif di Indonesia yang juga diilhami dari hukum Islam pada dasarnya bertujuan untuk membentuk keluarga yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa. Hendaknya kita sadar bahwa perkawinan bukan bertujuan hanya untuk sesaat saja. Di dalam sebuah perkawinan terkandung hak dan kewajiban masing-masing, baik itu suami maupun istri. Suami sebagai kepala keluarga mempunyai kewajiban yang tidak ringan, diantara nya ia arus menyayangi istri dan mampu memberikan nafkah lahir maupun batin. Jadi, ikrar ta’lik talak pada dasarnya memberi jaminan atas terpenuhinya kewajiban suami ini. Memang ini untuk melindungi wanita, tapi apakah harus dengan cara demikian.
Dalam hukum Islam dan hukum positif di Indonesia, ta’lik talak bukanlah merupakan kewajiban. Ini ditegaskan dalam Pasal 46 ayat (1) Kompilasi Hukum Islam, "Perjanjian ta’lik talak bukan suatu perjanjian yang wajib diadakan pada setiap perkawinan, akan tetapi sekali ta’lik talak sudah diperjanjikan tidak dapat dicabut kembali." Dari bunyi Pasal tersebut jelas pihak mempelai pria sebenarnya mempunyai hak menolak membaca ta’lik talak. Ta’lik talak dibaca setelah ijab qabul.
Di sini yang harus kita cermati, bahwa setelah ijab qabul selesai dan para saksi menyatakan sah, mulai saat itu juga keduanya telah resmi menjadi suami istri dan kewajiban petugas KUA ialah mencatatnya. Ini berarti semua proses perkawinan sudah selesai dan sah menurut hukum.
Para ahli hukum berbeda dalam membahas mengenai ta’lik talak. Bagi ahli hukum Islam yang membolehkan, perbedaan di antara mereka pun muncul, yang pada dasarnya terletak pada rumusan shigat ta’lik talak yang bersangkutan yang sampai sekarang masih mewarnai perkembangan hukum Islam di Indonesia.
Dalam kaitan ini, Ibnu Hazm berpendapat bahwa dari dua macam bentuk ta’lik talak (Qasamy dan Syarthi) , keduanya tidak mempunyai akibat apa-apa. Alasannya ialah bahwa Allah telah mengatur secara jelas mengenai talak. Sedangkan ta’lik talak tidak ada tuntunannya dalam Alquran maupun sunnah. Hal senada dikemukakan pula oleh Ibnu Taimiyah bahwa Taklik Qasamy yang mengandung maksud, tidak mempunyai akibat jatuhnya talak.
Sementara itu, Jumhur ulama Mazhab berpendapat bahwa bila seseorang telah mentaklikkan talaknya yang dalam wewenangnya dan telah terpenuhi syarat-syaratnya sesuai kehendak mereka masing-masing, maka taklik itu dianggap sah untuk semua bentuk taklik, baik itu mengandung sumpah (qasamy) ataupun mengandung syarat biasa, karena orang yang menta’likkan talak itu tidak menjatuhkan talaknya pada saat orang itu mengucapkannya, akan tetapi talak itu tergantung pada terpenuhinya syarat yang dikandung dalam ucapan taklik itu.
3.      Analisis Data
Menurut penulis, dari pendapat jumhur ulama inilah nampaknya yang menjadi anutan pada pemerintah. Dan oleh Menteri Agama merumuskannya sedemikian rupa dengan maksud agar bentuk sighat ta’lik jadi tidak secara bebas diucapkan oleh suami juga bertujuan agar terdapat keseimbangan antara hak talak yang diberikan secara mutlak kepada suami dengan perlindungan terhadap isteri dari perbuatan kesewenangan suami. Bila dicermati rumusan ta’lik talak, nampaknya telah mengalami banyak kemajuan, perubahan mana dimaksud tidak terletak pada unsur-unsur pokoknya, tetapi mengenai kualitasnya yaitu syarat ta’lik yang bersangkutan serta mengenai besarnya iwadh.
Perubahan mengenai kualitas syarat ta’lik di Indonesia, baik sebelum kemerdekaan (1940) maupun pasca kemerdekaan (1947, 1950, 1956 dan 1975) yang ditentukan Departemen Agama semakin menunjukkan kualitas yang lebih sesuai dengan asas syar’iy yakni mempersukar terjadinya perceraian dan sekaligus melindungi isteri dari kesewenangan suami.
Perubahan rumusan tersebut dapat dikemukakan misalnya pada rumusan ayat (3) sighat taklik, pada rumusan tahun 1950 disebutkan “menyakiti isteri dengan memukul”, sehingga semua pengertian dibatasi pada memukul saja, sedangkan sighat rumusan tahun 1956 tidak lagi sebatas memukul, sehingga perbuatan yang dapat dikategorikan menyakiti badan dan jasmani seperti: menendang, mendorong sampai jatuh dan sebagainya dapat dijadikan alasan perceraian, karena terpenuhi syarat taklik dari segi perlindungan pada isteri. Demikian halnya perubahan kualitas kepada yang lebih baik (mempersukar terjadinya perceraian) dapat dilihat pada rumusan ayat (4) sighat taklik tentang membiarkan isteri. Pada rumusan tahun 1950 disebutkan selama 3 bulan, sedang rumusan tahun 1956 menjadi 6 bulan lamanya. Demikian pula tentang pergi meninggalkan isteri dalam ayat (1) sighat taklik, dalam rumusan tahun 1950, 1956 dan 1969 sampai sekarang dirumuskan menjadi 2 tahun berturut-turut.
Oleh karena itu, menurut penulis sighat taklik yang ditetapkan dalam PMA No. 2 Tahun 1990 junto sesuai dengan yang dimaksudkan dalam pasal 46 ayat (2) KHI dianggap telah memadai dan relevan dengan ayat-ayat tersebut. Dengan kata lain, semua bentuk ta’lik talak di luar yang ditetapkan oleh Departemen Agama seharusnya dianggap tidak pernah terjadi.



BAB III
A.    Kesimpulan
Menurut data yang telah penulis dapat dari berbagai sumber, maka hemat penulis yang di tuangkan dalam kesimpulan kali ini bahwa :
1.      Bahwa materi sighat ta’lik talak pada dasarnya telah dipenuhi dan tercantum dalam Undang-Undang No. 1 tahun 1974 tentang Perkawinan dan Undang-Undang No. 7 tahun 1989 tentang Peradilan Agama.
2.      Menurut Kompilasi Hukum Islam (KHI), perjajian ta’lik talak bukan merupakan keharusan dalam setiap perkawinan (KHI pasal 46 ayat 3).
3.      Bahwa konteks mengucapkan sighat ta’lik talak menurut sejarahnya adalah untuk melindungi hak-hak wanita, dimana waktu itu ta’lik talak belum ada dalam peraturan perundang-undangan perkawinan.
B.     Saran
Yang di sarankan oleh penulis adalah bagi pemerintah untuk lebih meperhatikan masyarakatnya tentang pernikahan. Agar dapat mengerti tentang taklik talak yang telah di ucapkan setelah ijab qabul.
Dan juga bagi pasangan suami isteri, hendaknya mempelajari terlebih dahulu apa yang akan terjadi apabila taklik talak tersebut di ucapkan dan di langgar oleh salah satu pihak.

0 komentar:

Jangan Lupa Komentar Looo...

Share

Twitter Delicious Facebook Digg Stumbleupon Favorites More

 
Design Downloaded from Free Blogger Templates | free website templates | Free Vector Graphics | Web Design Resources.