BAB I
A. Latar Belakang
Dalam Pendahuluan Pasal 38 Undang-Undang
No. 1 Tahun 1974 pada Bab VIII tentang Perkawinan disebutkan bahwa perkawinan
dapat putus karena tiga hal, yaitu karena kematian, karena perceraian dan atas
putusan pengadilan.
Putusnya perkawinan karena perceraian, di
Indonesia pada umumnya mengunakan lembaga taklik talak (cerai talak). Namun
tidak sedikit dari masyarakat yang putus hubungan perkawinannya karena putusan
pengadilan, diantaranya ialah gugat cerai dengan alasan pelanggaran taklik
talak. Lembaga taklik talak di Indonesia telah ada sejak zaman dahulu.
Kenyataan yang ada sampai saat ini menunjukkan bahwa, hampir setiap perkawinan
di Indonesia yang dilaksanakan menurut agama Islam selalu diikuti pengucapan
sighat ta’lik thalak oleh suami setelah pengucapan ijab qabul. Sekalipun
sifatnya suka rela yang mana telah berdasarkan kesepakatan antara kedua belah
pihak, namun di negara ini, membaca taklik talak seolah-olah menjadi kewajiban
yang harus dilaksanakan oleh suami.
Sighat ta’lik dirumuskan sedemikian rupa
yang mempunyai tujuan untuk melindungi pihak isteri agar tidak diperlakukan
sewenang-wenang oleh pihak suami. Sehingga apabila pihak isteri tidak ridha
atas perlakuan suami, maka pihak isteri dapat mengajukan gugatan perceraian
berdasarkan terwujudkan syarat ta’lik sebagaimana disebutkan di dalam sighat
ta’lik.
Eksistensi taklik talak selama ini ternyata
banyak melahirkan kontoversi, baik di kalangan fuqaha atau ulama Madzhab maupun
para pengamat hukum Islam, yang mengakibatkan terwujudnya pengaruh negatif
tentang adanya pengucapan taklik talak dalam sebuah perkawinan. Namun, tidak
sedikt pula yang berfikiran positif dengan adanya sighat taklik talak bagi
pasangan suami istri.
Permasalahan yang di angkat oleh penulis
kali ini adalah permasalahan yang berkaitan tentang prosesi setelah terjadinya
ijab qabul antara mempelai laki-laki dengan mempelai perempuan yang terlebih
dahulu telah mencapai kata sepakat dalam mengarungi bahtera rumah tangga, yaitu
pembacaan taklik talak dengan langgengnya rumah tangga tersebut dan pandangan
tentang masyarakat sekitar tentang hal tersebut.
Pembacaan taklik talak di ucapkan oleh
pihak laki-laki di hadapan para saksi dan juga telah di teliti oleh Petugas
Pencatat Nikah (PPN) di hadapan semua orang dan mempelai wanita itu sendiri.
Sehingga dari segi kekuatan hukum, isteri telah di bentengi oleh alat-alat
bukti berupa catatan Pegawai Pencatat nikah (PPN), para saksi-saksi dan
masyarakat yang hadir dalam prosesi tersebut.
B. Rumusan Masalah
Mengenai pembacaan taklik talak yang
terjadi di tengah-tengah masyarakat, maka penulis akan mencoba untuk merumuskan
permaslahan yang terkait dengan taklik talak dalam kompilasi hukum islam (KHI)
pandangan ulama Madzhab serta pengaruhnya terhadap masyarakat.
Maka untuk itu penulis akan mengajukan
pertanyaan seperti berikut :
1. Dasar taklik talak dalam Kompilasi Hukum Islam (KHI) ?
2. Pandanagan ulama Madzhab tentang penggunaan atau pengucapan taklik talak
dalam pernikahan ?
3. Apa pengaruh pengucapan taklik talak dalam kehidupan berumah tangga ?
C. Manfaat Penelitian
Dari apa yang telah di paparkan, maka
penulis akan membeberkan manfaat dari penelitian literatur-literatur yang
membahas tentang taklik talak, yang mana akan membantu dari pembaca apa yang
tercantum dalam Kompilasi Hukum Islam (KHI) tentang taklik talak, pandangan
ulama-ulama Madzhab tentang berlakunya pembacaan taklik talak setelah prosesi
ijab qabul, serta pengaruh di kalangan masyarakat tentang pembacaan taklik
talak.
Selain
membantu para pembaca yang ingin mengetahui problematika tentang taklik talak,
juga sebagai bahan latihan bagi penulis untuk menuju tugas akhir dari seluruh
perkuliahan, yaitu penulisan skripsi.
D. Metode Penelitian.
Dari kasus yang penulis angkat dalam
makalah ini, penulis menggunakan metode penelitian literatur-literatur yang
memuat tentang hukum taklik talak, serta wawancara untuk memperkuat data yang
berkaitan tentang pandangan masyarakat tentang taklik talak.
Literatur yang penulis teliti adalah
Kompilasi Hukum Islam (KHI), Undang-undang Perkawinan Nomor. 1 Tahun 1974, kitab-kitab
klasik yang memuat tentang pendapat-pendapat para ulama Madzhab mengenai taklik
talak serta sumber-sumber yang penulis ambil dari internet tentang pengaruh
taklik talak dalam kehidupan berumah tangga di kalangan masyarakat, dan yang
terpentingadalah hasil dari wawancara yang penulis lakukan untuk mendukung
penelitian ini.
a) Kompilasi Hukum Islam (KHI)
Dalam Kompilasi Hukum Islam (KHI) pada Bab
XVI pasal 113 disebutkan bahwa : “perkawinan dapat putus karena :
1. Kematian,
2. Perceraian, dan
3. Putusan Pengadilan
Sedangkan dalam pasal selanjutnya yaitu
pasal 116 di sebutkan bahwa “perceraian dapat terjadi karena alasan atau alasan-alasan
:
1. Salah satu piha berbuat zinaatau menjadi pemabuk, pemadat, penjudi dan
lain sebagainyayang sukar disembuhkan;
2. Salah satu pihak meninggalkan pihak lain selama 2 (dua) tahun
berturut-turut tanpa izin pihak laindan tanpa alasan yang sah atau karena hal
laindi luar kemampuannya;
3. Salah satu pihak mendapat hukuman penjara 5 (lima) tahun atau hukuman
yang lebih berat setelah perkawinan berlangsung;
4. Salah satu pihak melakukan kekejaman atau penganiayaan berat yang
membahayakan pihak yang lain;
5. Salah satu pihak mendapat cacat badan atu penyakit dengan akibat tidak
dapat menjalankan kewajibannya sebagai suami atau isteri;
6. Antara suami isteri terus menerus terjadi perselisihan dan pertengkaran dan
tidak ada harapan akan hidup rukun lagi dalam rumah tangga;
7. Suami melanggar taklik talak;
8. Peralihan agama atau murtad yang menyebabkan ketidak rukunan dalam rumah
tangga.
Kemudian dari pasal yang berkaitan dengan
kasus yang penulis angkat yaitu pada pasal 117.
Selain dari Kompilasi Hukum Islam (KHI),
penulis juga mencari data dari Undang-undang Nomor. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan. Dalam undang-undang ini pasal
yang berkaitan dengan permaslahan taklik talak adalah pada pasal 29 Bab V
tentang Perjanjian Perkawinan, yang berbunyi :
1. Pada waktu sebelum perkawinan dilangsungkan, kedua belah pihak atas
persetujuan bersama dapat mengadakan perjanjian tertulis yang disahlan oleh
pegawai pencatat perkawinan, setelah mana isinya berlaku juga terhadap pihak
ketiga sepanjang pihak tersangkut.
2. Perjanjian tersebut tidak dapat disahkan bilamana melanggar batas-batas
hukum, agama dan kesusilaan.
3. Perjanjian tersebut berlaku sejak perkawinan dilangsungkan.
4. Selama perkawinan berlangsung perjanjian tersebut tidak dapat dirubah,
kecuali bila kedua belah pihak ada persetujuan untuk merubah dan perubahan
tidak merugikan pihak ketiga.
Sedangkan dalam literatur kitab-kitab fiqih
klasik menyatakan bahwa Sebagaimana penulis sebutkan di atas, bahwa para ahli
hukum Islam berbeda pendapat dalam pembahasan mengenai taklik talak. Ibn Hazm
berpendapat bahwa dari dua macam bentuk taklik talak, yaitu taklik qasamy dan
taklik syarthi, keduanya tidak sah dan ucapannya tidak mempunyai akibat
apa-apa. Alasannya karena Allah telah mengatur secara jelas mengenai talak,
sedang taklik talak tidak ada tuntunannya dalam Alquran dan Sunnah.
Jumhur ulama berpendapat bahwa apabila
seseorang telah mentaklikkan talaknya yang dalam wewenangnya dan telah
terpenuhi syarat-syaratnya sesuai dengan yang dikehendaki oleh mereka
masing-masing dalam artian kedua pasangan yang telah sah menjadi suami isteri,
maka taklik itu dianggap sah untuk semua bentuk taklik, baik taklik itu mengandung sumpah (qasamy) atau
mengandung syarat biasa. Karena orang yang mentaklikkan talaknya itu tidak
menjatuhkan talaknya pada saat orang itu mengucapkannya, akan tetapi orang itu
menggantungkan talak kepada salah satu pihak apabila telah terpenuhinya syarat yang terkandung dalam ucapannya dan di
laporkan kepada pihak pengadilan agama dengan pelanggaran tersebut.
Kemudian untuk mendukung penelitian tentang
taklik talak dalam perspektif Kompilasi Hukum Islam, Ulama Madzhab dan
pengaruhnya terhadap masyarkat ini, penulis menggunakan metode wawancara dengan
data responden sebagai berikut :
Responden pertama bernama Sulastri, umur 34
tahun, sudah menikah, dan berprofesi sebagai ibu rumah tangga. Kemudian penulis
mengajukan beberapa pertanyaan tentang taklik talak, sebagai berikut :
Logista Denny Saputra (LDS) : apakah ibu mengerti apa yang dimaksud
dengan taklik talak ?
Ibu sulastri : saya kurang mengetahui mas, soalnya saya tidak
memperdulikan permasalahan itu. Yang penting saya bisa menikah dengan orang
yang saya cintai, yaitu suami saya.
LDS : lalu apakah ibu tidak kawatir, apabila di suatu hari suami ibu
melakukan kekerasan terhadap ibu ?
Ibu Sulastri : yaaaah, saya percaya kalau suami saya tidak akan
melakukan itu. Saya Cuma berdoa saja tidak terjadi seperti itu.
LDS : kalau begitu apakah ibu tahu kalau suami ibu telah melanggar
perjanjian tersebut, ibu dapat mengajukan cerai terhadap suami ibu dengan lebih
dahulu mengajukan permaslahan ini ke pengadilan agama ?
Ibu Sulastri : kalau masalah itu, saya punya pengalaman dalam
keluarga saya. Paman saya bercerai dengan istrinya karena tindak kekerasan ke
istrinya.
LDS : berarti ibu sedikit banyaknya mengetahui tentang taklik talak
yang kemudian di ajukan ke pengadilan agama ?
Ibu Sulastri : kalau sedikit saya tahu mas.
LDS : baik bu terima kasih atas informasinya.
Kemudian penulis melanjutkan pertanyaan untuk penelitian ini kepada
suami dari ibu Sulastri, yaitu Bapak Darmawan Hadi, umur 38 tahun, sydah
menikah, dan berprofesi sebagai guru Matematika di sebuah Sekolah Dasar.
LDS : bapak mengetahui apa yang di maksud dengan taklik talak ?
Bapak Darmawan : saya tahu tentang itu Cuma sedikit saja mas.
LDS : apa yang bapak ketahui ?
Bapak Darmawan : ya perjanjian suami kepada isteri untuk memenuhi
kewajibannya.
LDS : kalau bapak melanggar perjanjian itu apakah bapak tahu
akibatnya ?
Bapak Darmawan : iya mas, makanya saya akan selalu sabar untuk
memenuhi kebutuhan keluarga saya.
LDS : baik pak terimakasih atas informasinya.
BAB II
A. Paparan Data.
1. Pengertian Taklik talak
Yang dimaksud dengan taklik talak ialah
menyandarkan jatuhnya thalaq kepada sesuatu perkara, baik kepada aucapan,
perbuatan maupun waktu tertentu. Hal ini dimaksudkan untuk menjaga perbuatan sewenang-wenang dari pihak
suami. Taklik talak ini dilakukan setelah akad nikah, baik langsung waktu itu
maupun di waktu lain.
Dengan taklik talak ini berarti suami menggantungkan
talaknya kepada perjanjian yang ia setujui. Apabila perjanjian itu dilanggar,
dengan sendirinya jatuh talak kepada isterinya. Undang-Undang Perkawinan No. 1
Tahun 1974 merumuskan bunyi sighat taklik yang ditetapkan dalam Peraturan
Menteri Agama No. 2 Tahun 1990, seperti di bawah ini:
Sesudah akad nikah
saya.........bin.........berjanji dengan sesungguh hati, bahwa saya akan
menepati kewajiban saya sebagai seorang suami, dan akan saya pergauli isteri
saya bernama ........ binti....... dengan baik (mu’asyarah bil ma’ruf) menurut
ajaran syariat Agama Islam
Selanjutnya saya mengucapkan sighat ta’lik atas isteri saya itu sebagai
berikut:
Sewaktu-waktu saya:
(1)
Meningalkan isteri saya tersebut enam bulan berturut-turut;
(2)
Atau saya tidak memberi nafkah wajib kepadanya tiga bulan lamanya;
(3)
Atau saya menyakiti badan/jasmani isteri saya itu;
(4)
Atau saya membiarkan (tidak memperdulikan) isteri saya itu enam bulan
lamanya:
Kemudian isteri saya itu tidak ridha dan
mengadukan halnya kepada Pengadilan Agama atau petugas yang diberi hak
mengurusi pengaduan itu, dan pengaduannya dibenartkan serta diterima oleh
pengadilan atau petugas tersebut, dan isteri saya membayar uang sebesar Rp.
1.000,- (seribu rupiah) sebagai iwadl (pengganti) kepada saya, makla jatuhlah
talak saya satu kepadanya.
Kepada Pengadilan atau petugas tersebut
tadi saya kuasakan untuk menerima uang iwadl (pengganti) itu dan kemudian
menyerahkannya kepada Badan Kesejahteraan Masjid (BKM) Pusat, untuk keperluan
ibadah sosial.
2. Dinamika yang terjadi di masyarakat tentang taklik talak.
Berdasarkan pemaparan di atas, penulis
menjabarkan bahwa keberadaan taklik talak sangatlah penting. Eksistensi taklik
talak yang sudah ditopang oleh kekuatan hukum yang jelas dalam Kompilasi Hukum
Islam serta pengaruhnya terhadap keberadaan wanita menambah pentingnya arti
taklik talak dalam kehidupan rumah tangga.
Kedudukan wanita akan lebih berarti karena
akan terhindar dari sikap kesewenang-wenangan suami, tanggung jawab suami
sebagai pemimpin rumah tangga akan lebih dihargai dan pada akhirnya tentunya
tercipta keluarga yang sakinah, mawaddah dan rahmah.
Di dalam masalah taklik talak banyak sekali
permasalahan yang sifatnya kontroversial. Hal ini terbukti dengan adanya
beberapa pendapat dari beberapa pakar yang mempermasalahkan tentang kedudukan
dan fungsi taklik talak tersebut, di mulai dari sebuah pertanyaan apakah taklik
talak itu termasuk perjanjian perkawinan atau sebaliknya. Kemudian di awali
dengan pertanyaan tersebut yang menjalar kepada kedudukan dan fungsi dari
taklik talak tersebut ada kubu yang pro terhadap eksistensi dan relevan hingga
saat ini dan kemudian ada kubu yang kontra terhadap permasalahan ini. Di dalam
buku ini penulis mencoba sedikit memberikan tanggapan dan solusi terhadap
permasalahan kontroversi taklik talak yang diambil dari wawancara dengan
beberapa sumber yang akurat, kemudian dianalisis dengan data yang valid:
Menurut beberapa
sumber, mengatakan bahwa taklik talak merupakan hanya perjanjian biasa.
Pendapat ini berdasarkan pada klausul yang berbunyi “Sesudah akad nikah, saya
bin pulan saya berjanji dengan sesungguh hati saya akan menepati kewajiban saya
sebagai seorang suamidan saya akan pergauli isteri saya yang bernama fulah
binti fulan dengan baik ‘Muasyarah bil Makruf’ menurut syariat Islam”.
Menurutnya kata kata berjanji di dalam klausul tersebut merupakan janji yang
sifatnya harus dipenuhi dan mengikat bagi yang berjanji itu sendiri karena
sesuai dengan ayat Al qur’an yang artinya ”Wahai orang-orang yang beriman
penuhi oleh mu akan janji-janjimu”, sedangkan setelah kalimat “selanjutnya saya
membaca sighat taklik talak dan seterusnya” itu tidak termasuk dalam kategori
sebuah perjanjian. Sehingga dikatakan bahwa sighat taklik talak tidak termasuk
kategori sebuah perjanjian perkawinan. Dengan demikian maka lahirlah Surat
Edaran Dirjen Bimas Islam No : DJ 11/HK.00/074/2008 tanggal 30 juli 2008
disebutkan bahwa tidak mewajibkan pembacaan sighat taklik talak oleh pengantin
pria pada saat akad nikah dan cukup ditandatangani karena mengganggu
kekhidmatan pelaksanaan prosesi akad. Sehingga klausul sighat taklik talak dari
kata kata “Selanjutnya saya membaca dan seterusnya” itu menjadi kontroversi
karena seolah olah acara akad yang sifatnya sakral dimentahkan kembali karena
pembacaan sighat taklik talak tersebut. Seperti orang Jawa bilang “wong
penganten enggal ko sampun diajari cerai”
Mengenai relevan
atau tidaknya taklik talak adalah tergantung dari personalnya. Yaitu dari kedua
pasangan tersebut. Artinya sangat kondisional. Kemudian mengenai konsep dari
perjanjian perkawinan dan taklik talak itu terdapat beberapa perbedaan seperti
kalau yang disebut dengan perjanjian itu orang yang mengucapkan itu lansung
terikat dengan apa yang ia janjikan tersebut dan sifatnya langsung. Sedangkan
kalau taklik talak itu hanya menggantungkan talak dan bukan perjanjian. Hal ini
diperjelas dengan kata kata “sewaktu Waktu”. Ternyata meskipun perkara taklik
talak tersebut masih dibaca, tetapi prosedur pengadilannya sama saja dengan
perkara cerai gugat, jadi kenapa tidak mencukupkan saja dengan perkara cerai
gugat.
Mengenai iwadh apakah iwadl yang termaktub di dalam klausul
sighat taklik talak masih relevan pada jaman sekarang ini? Tentunya tidak. Di
dalam klausul disebutkan isteri kemudian membayarkan uang iwadh sebesar Rp
10.000 (sepuluh ribu rupiah). Pada zaman sekarang, dimana perekonomian bangsa
Indonesia mengalami kanaikan yang cukup baik tentunya hal ini mengakibatkan
akan terjadinya inflasi di mana mata uang rupiah semakin hari semakin kecil
nilainya. Mengenai besar uang iwadl Rp 10.000 sudah tidak relevan pada saat
sekarang ini sebab nominalnya sudah tidak memiliki nilai dan seharusnya dirubah
nominal nya sesuai dengan inflasi atau kurs dollar ataupun harga emas.
Menurut
penulis, isi dalam sighat tersebut adalah perjanjian perkawinan antara suami
dan isteri. Dengan demikian menjadi semakin jelas bahwa ta’lik talak pada
prinsipnya sama dengan perjanjian perkawinan. Artinya, ta’lik talak merupakan
bagian dari perjanjian perkawinan. Dengan ungkapan lain, perjanjian perkawinan
dapat dalam bentuk ta’lik talak dan dapat pula dalam bentuk lain di luar ta’lik
talak. Sejalan dengan isi sighat taklik tersebut, maka ta’lik talak dalam
perundang-undangan perkawinan Indonesia pun masuk pada pasal perjanjian
perkawinan, yang tercantum pada Bab V, pasal 29 Undang-Undang No. 1 tahun 1974
tentang Perkawinan. Demikian juga perjanjian perkawinan dicantumkan dalam
Kompilasi Hukum Islam Indonesia (KHI), yang diatur dalam Bab VII: Perjanjian
Perkawinan (pasal 45 s/d 52).
Suatu
perkawinan menurut hukum positif di Indonesia yang juga diilhami dari hukum
Islam pada dasarnya bertujuan untuk membentuk keluarga yang bahagia dan kekal
berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa. Hendaknya kita sadar bahwa perkawinan
bukan bertujuan hanya untuk sesaat saja. Di dalam sebuah perkawinan terkandung
hak dan kewajiban masing-masing, baik itu suami maupun istri. Suami sebagai
kepala keluarga mempunyai kewajiban yang tidak ringan, diantara nya ia arus
menyayangi istri dan mampu memberikan nafkah lahir maupun batin. Jadi, ikrar
ta’lik talak pada dasarnya memberi jaminan atas terpenuhinya kewajiban suami
ini. Memang ini untuk melindungi wanita, tapi apakah harus dengan cara
demikian.
Dalam
hukum Islam dan hukum positif di Indonesia, ta’lik talak bukanlah merupakan
kewajiban. Ini ditegaskan dalam Pasal 46 ayat (1) Kompilasi Hukum Islam,
"Perjanjian ta’lik talak bukan suatu perjanjian yang wajib diadakan pada
setiap perkawinan, akan tetapi sekali ta’lik talak sudah diperjanjikan tidak dapat
dicabut kembali." Dari bunyi Pasal tersebut jelas pihak mempelai pria
sebenarnya mempunyai hak menolak membaca ta’lik talak. Ta’lik talak dibaca
setelah ijab qabul.
Di sini
yang harus kita cermati, bahwa setelah ijab qabul selesai dan para saksi menyatakan
sah, mulai saat itu juga keduanya telah resmi menjadi suami istri dan kewajiban
petugas KUA ialah mencatatnya. Ini berarti semua proses perkawinan sudah
selesai dan sah menurut hukum.
Para ahli
hukum berbeda dalam membahas mengenai ta’lik talak. Bagi ahli hukum Islam yang
membolehkan, perbedaan di antara mereka pun muncul, yang pada dasarnya terletak
pada rumusan shigat ta’lik talak yang bersangkutan yang sampai sekarang masih
mewarnai perkembangan hukum Islam di Indonesia.
Dalam
kaitan ini, Ibnu Hazm berpendapat bahwa dari dua macam bentuk ta’lik talak
(Qasamy dan Syarthi) , keduanya tidak mempunyai akibat apa-apa. Alasannya ialah
bahwa Allah telah mengatur secara jelas mengenai talak. Sedangkan ta’lik talak
tidak ada tuntunannya dalam Alquran maupun sunnah. Hal senada dikemukakan pula
oleh Ibnu Taimiyah bahwa Taklik Qasamy yang mengandung maksud, tidak mempunyai
akibat jatuhnya talak.
Sementara
itu, Jumhur ulama Mazhab berpendapat bahwa bila seseorang telah mentaklikkan
talaknya yang dalam wewenangnya dan telah terpenuhi syarat-syaratnya sesuai
kehendak mereka masing-masing, maka taklik itu dianggap sah untuk semua bentuk
taklik, baik itu mengandung sumpah (qasamy) ataupun mengandung syarat biasa,
karena orang yang menta’likkan talak itu tidak menjatuhkan talaknya pada saat
orang itu mengucapkannya, akan tetapi talak itu tergantung pada terpenuhinya
syarat yang dikandung dalam ucapan taklik itu.
3. Analisis Data
Menurut
penulis, dari pendapat jumhur ulama inilah nampaknya yang menjadi anutan pada pemerintah.
Dan oleh Menteri Agama merumuskannya sedemikian rupa dengan maksud agar bentuk
sighat ta’lik jadi tidak secara bebas diucapkan oleh suami juga bertujuan agar
terdapat keseimbangan antara hak talak yang diberikan secara mutlak kepada
suami dengan perlindungan terhadap isteri dari perbuatan kesewenangan suami.
Bila dicermati rumusan ta’lik talak, nampaknya telah mengalami banyak kemajuan,
perubahan mana dimaksud tidak terletak pada unsur-unsur pokoknya, tetapi
mengenai kualitasnya yaitu syarat ta’lik yang bersangkutan serta mengenai
besarnya iwadh.
Perubahan
mengenai kualitas syarat ta’lik di Indonesia, baik sebelum kemerdekaan (1940)
maupun pasca kemerdekaan (1947, 1950, 1956 dan 1975) yang ditentukan Departemen
Agama semakin menunjukkan kualitas yang lebih sesuai dengan asas syar’iy yakni
mempersukar terjadinya perceraian dan sekaligus melindungi isteri dari
kesewenangan suami.
Perubahan
rumusan tersebut dapat dikemukakan misalnya pada rumusan ayat (3) sighat
taklik, pada rumusan tahun 1950 disebutkan “menyakiti isteri dengan memukul”,
sehingga semua pengertian dibatasi pada memukul saja, sedangkan sighat rumusan
tahun 1956 tidak lagi sebatas memukul, sehingga perbuatan yang dapat
dikategorikan menyakiti badan dan jasmani seperti: menendang, mendorong sampai
jatuh dan sebagainya dapat dijadikan alasan perceraian, karena terpenuhi syarat
taklik dari segi perlindungan pada isteri. Demikian halnya perubahan kualitas
kepada yang lebih baik (mempersukar terjadinya perceraian) dapat dilihat pada
rumusan ayat (4) sighat taklik tentang membiarkan isteri. Pada rumusan tahun
1950 disebutkan selama 3 bulan, sedang rumusan tahun 1956 menjadi 6 bulan
lamanya. Demikian pula tentang pergi meninggalkan isteri dalam ayat (1) sighat
taklik, dalam rumusan tahun 1950, 1956 dan 1969 sampai sekarang dirumuskan
menjadi 2 tahun berturut-turut.
Oleh
karena itu, menurut penulis sighat taklik yang ditetapkan dalam PMA No. 2 Tahun
1990 junto sesuai dengan yang dimaksudkan dalam pasal 46 ayat (2) KHI dianggap
telah memadai dan relevan dengan ayat-ayat tersebut. Dengan kata lain, semua
bentuk ta’lik talak di luar yang ditetapkan oleh Departemen Agama seharusnya
dianggap tidak pernah terjadi.
BAB III
A. Kesimpulan
Menurut
data yang telah penulis dapat dari berbagai sumber, maka hemat penulis yang di
tuangkan dalam kesimpulan kali ini bahwa :
1. Bahwa materi sighat ta’lik talak
pada dasarnya telah dipenuhi dan tercantum dalam Undang-Undang No. 1 tahun 1974
tentang Perkawinan dan Undang-Undang No. 7 tahun 1989 tentang Peradilan Agama.
2. Menurut Kompilasi Hukum Islam
(KHI), perjajian ta’lik talak bukan merupakan keharusan dalam setiap perkawinan
(KHI pasal 46 ayat 3).
3. Bahwa konteks mengucapkan sighat
ta’lik talak menurut sejarahnya adalah untuk melindungi hak-hak wanita, dimana
waktu itu ta’lik talak belum ada dalam peraturan perundang-undangan perkawinan.
B. Saran
Yang di
sarankan oleh penulis adalah bagi pemerintah untuk lebih meperhatikan
masyarakatnya tentang pernikahan. Agar dapat mengerti tentang taklik talak yang
telah di ucapkan setelah ijab qabul.
Dan juga
bagi pasangan suami isteri, hendaknya mempelajari terlebih dahulu apa yang akan
terjadi apabila taklik talak tersebut di ucapkan dan di langgar oleh salah satu
pihak.
0 komentar:
Posting Komentar