Jumat, 23 Desember 2011

MAKALAH TAFSIR AYAT PLURALISME


BAB I
PENDAHULUAN

Kaum yang menamakan dirinya inklusif dan pluralis mengambil beberapa ayat Alquran yang mengisyaratkan adanya doktrin keselamatan (salvation) di luar Islam. Mereka menyatakan bahwa semua agama sama saja tanpa mengkaji lebih jauh perbedaan yang tajam terutama dalam sistem teologi dan metafisika antara Islam dengan agama-agama lain.
Ayat-ayat Alquran digunakan sekaligus pemahamannya dipelintir untuk menjustifikasi bahwa semua agama sama saja. Masalah ini sebenarnya akan banyak bersinggungan dengan disiplin ilmu tafsir Alquran. Sayangnya ilmu yang sangat penting itu tidak begitu diindahkan. Kesalahan mereka karena mencomot ayat suci dan memahaminya terlepas dari kombinasi sabab nuzul dengan siyaq atau yang lebih populer disebut dengan ilmu munasabat (korelasi antar bagian) Alquran. Kesalahan tersebut memunculkan kekeliruan selanjutnya yaitu mengatakan terjadinya kontradiksi antar ayat Alquran. Mereka kemudian berusaha menguraikannya dengan jawaban yang keliru karena tidak menguasai cara yang telah dirumuskan dengan baik sekali oleh ulama Alquran dalam cabang ilmu Mūhim al-Ikhtilāf wa al-Tanāqudl. Seorang mufassir, selain harus menguasai kaidah-kaidah bahasa Arab, harus juga menguasai disiplin prinsip dan kaidah tafsir. Diantaranya memperhatikan konteks pembicaraan dari ayat-ayat terdahulu (sibaq) maupun ayat-ayat sesudahnya (lihaq) dan berusaha melihat sabab nuzul ayat sebagai petunjuk dan inspirasi pemahaman, dalam pengertian bukan satu-satunya sumber makna.
Al-Quran adalah kitab suci terakhir yang diturunkan kepada Nabi terakhir sebagai sumber ajaran primer untuk agama samawi terakhir yang diberi nama Islam. Bagi seorang muslim, argumentasi al-Quran merupakan suatu hal yang bersifat aksiomatis. Argumentasi al-Quran memiliki kekuatan lebih dibanding argumentasi teks agama lainnya sehingga harus lebih diutamakan. Sesuai dengan konsensus segenap kaum muslimin, siapa saja yang meragukan argumentasi al-Quran, maka ia tergolong orang yang telah keluar dari agama Islam atau kafir sesuai dengan berbagai teks agama Islam yang ada, al-Quran maupun hadis. Maka semua ulama dan intelektual muslim selalu berusaha untuk menyandarkan setiap wacana dan pemikiran yang dikemukakannya dengan argumentasi teks agama, khususnya teks al-Quran, dengan anggapan dan harapan bahwa wacana yang dilontarkannya akan diterima oleh kaum muslimin.
Dalam sebuah ayat al-Quran disebutkan bahwa semua ayat yang tercantum dalam al-quran tidak akan pernah keluar dari dua kategori;
1.      Ayat-ayat yang makna zahirnya bersifat aksiomatis (muhkamaat).
2.      Ayat-ayat yang makna zahirnya bersifat ambigu (mutasyabihaat).
Dalam menjelaskan hal ini, Allah swt berfirman dalam surat ali imran ayat 7 yang berbunyi.
uqèd üÏ%©!$# tAtRr& y7øn=tã |=»tGÅ3ø9$# çm÷ZÏB ×M»tƒ#uä ìM»yJs3øtC £`èd Pé& É=»tGÅ3ø9$# ãyzé&ur ×M»ygÎ7»t±tFãB ( $¨Br'sù tûïÏ%©!$# Îû óOÎgÎ/qè=è% Ô÷÷ƒy tbqãèÎ6®KuŠsù $tB tmt7»t±s? çm÷ZÏB uä!$tóÏGö/$# ÏpuZ÷GÏÿø9$# uä!$tóÏGö/$#ur ¾Ï&Î#ƒÍrù's? 3 $tBur ãNn=÷ètƒ ÿ¼ã&s#ƒÍrù's? žwÎ) ª!$# 3 tbqãź§9$#ur Îû ÉOù=Ïèø9$# tbqä9qà)tƒ $¨ZtB#uä ¾ÏmÎ/ @@ä. ô`ÏiB ÏZÏã $uZÎn/u 3 $tBur ㍩.¤tƒ HwÎ) (#qä9'ré& É=»t6ø9F{$# ÇÐÈ
Dia-lah yang menurunkan Al Kitab (Al Quran) kepada kamu. di antara (isi) nya ada ayat-ayat yang muhkamaat,[1] Itulah pokok-pokok isi Al qur'an dan yang lain (ayat-ayat) mutasyaabihaat.[2] Adapun orang-orang yang dalam hatinya condong kepada kesesatan, Maka mereka mengikuti sebahagian ayat-ayat yang mutasyaabihaat daripadanya untuk menimbulkan fitnah untuk mencari-cari ta'wilnya, padahal tidak ada yang mengetahui ta'wilnya melainkan Allah. dan orang-orang yang mendalam ilmunya berkata: "Kami beriman kepada ayat-ayat yang mutasyaabihaat, semuanya itu dari sisi Tuhan kami." dan tidak dapat mengambil pelajaran (daripadanya) melainkan orang-orang yang berakal.
Dari sini jelas sekali, bahwa sebagai seorang muslim, kita diperintahkan untuk mengikuti ayat-ayat yang bersifat jelas dari sisi pemaknaan zahir. Dari sini, mungkin akan muncul beberapa pertanyaan seperti; bagaimana nasib ayat-ayat yang bersifat ambigu? Apa fungsi penurunan ayat-ayat semacam itu? Bukankah al-Quran secara umum diturunkan untuk menjadi pedoman bagi kaum beriman sebagai petunjuk menuju kebahagiaan abadi nan sejati di akhirat kelak? Jika kita dilarang untuk mengikuti ayat-ayat semacam itu, lantas kenapa ayat seperti itu diturunkan, bukankah hal itu meniscayakan bahwa penurunannya bersifat sia-sia, dan mungkinkah Allah melakukan hal yang sia-sia? Bukankah kesia-siaan merupakan keburukan yang harus dijauhkan dari Dzat Suci Ilahi? Jawaban dari semua pertanyaan tersebut dapat teringkas pada satu kalimat; “al-Quran memiliki beberapa metode penafsiran yang jelas dan legal”. Sebagaimana Islam pun melarang penggunaan metode penafsiran dengan pendapat pribadi (tafsir bir ra’yi).

BAB II

PEMBAHASAN

Tafsir tentang Ayat-ayat Pluralisme

a.      Al-Baqarah ayat 62

Bagi kaum muslimin pendukung pemikiran pluralisme agama, mereka menyangka bahwa ayat 62 dari surat al-Baqarah merupakan dalil teks agama yang sangat renyah untuk dikonsumsi sebagai penguat argument mereka. Dengan menafsirkannya sesuai dengan teori mereka, lantas mereka beranggapan dan ingin menetapkan bahwa pluralisme agama telah disetujui oleh Allah swt. Dalam ayat yang berbunyi;
¨bÎ) tûïÏ%©!$# (#qãYtB#uä šúïÏ%©!$#ur (#rߊ$yd 3t»|Á¨Z9$#ur šúüÏ«Î7»¢Á9$#ur ô`tB z`tB#uä «!$$Î/ ÏQöquø9$#ur ̍ÅzFy$# Ÿ@ÏJtãur $[sÎ=»|¹ öNßgn=sù öNèdãô_r& yYÏã óOÎgÎn/u Ÿwur ì$öqyz öNÍköŽn=tæ Ÿwur öNèd šcqçRtøts ÇÏËÈ
Artinya : “Sesungguhnya orang-orang mukmin, orang-orang Yahudi, orang-orang Nasrani dan orang-orang Shabiin[56], siapa saja diantara mereka yang benar-benar beriman kepada Allah[57], hari Kemudian dan beramal saleh[58], mereka akan menerima pahala dari Tuhan mereka, tidak ada kekhawatiran kepada mereka, dan tidak (pula) mereka bersedih hati.”
[56]  Shabiin ialah orang-orang yang mengikuti syari'at nabi-nabi zaman dahulu atau orang-orang yang menyembah bintang atau dewa-dewa.
[57]  orang-orang mukmin begitu pula orang Yahudi, Nasrani dan Shabiin yang beriman kepada Allah termasuk iman kepada Muhammad s.a.w., percaya kepada hari akhirat dan mengerjakan amalan yang saleh, mereka mendapat pahala dari Allah.
[58]  ialah perbuatan yang baik yang diperintahkan oleh agama islam, baik yang berhubungan dengan agama atau tidak.




Mereka menyimpulkan bahwa dalam ayat ini Allah swt telah memberikan dua syarat agar manusia dapat meraih keselamatan abadi kelak di akhirat; iman kepada Allah juga hari akhir dan amal saleh. Terserah apapun agamanya, selama mereka memenuhi kedua syarat tersebut niscaya mereka akan mendapat keselamatan dan kebahagiaan abadi di akhirat kelak. Jadi, setiap agama dapat menghantarkan pengikutnya yang beriman dan beramal saleh pada keselamatan abadi di akhirat kelak.
Berkaitan dengan syarat pertama yaitu keimanan, Allamah menjelaskan tentang pengulangan kata “beriman” dalam ayat tersebut. Pengulangan ini membuktikan bahwa; kata iman pada kata kedua yaitu “man aamana” (barangsiapa yang beriman) menunjukkan pensifatan iman dengan arti yang sebenar-benarnya, “iman sejati”. Berbeda dengan kata iman pertama pada kata “innalladzina aamanuu” (sesungguhnya orang-orang yang beriman) yang menunjukkan arti iman secara zahir saja, iman yang belum teruji.[3] Dalam banyak ayat al-Quran, kata iman sering disandingkan dengan dengan kata amal saleh.[4] Seakan-akan al-Quran ingin menjelaskan bahwa iman yang merupakan pekerjaan hati tidak akan bisa dipisahkan dengan ketaatan yang terjelma dalam amal saleh sebagai perwujudan zahir keimanan. Iman tanpa pengamalan zahir (baca: ketakwaan) tiada akan memberi kesan apapun, juga sebaliknya, amal tanpa iman tidak akan memberi kesan apapun dalam keselamatan abadi. Atas dasar inilah, maka dalam surat al-Baqarah ayat 62 tersebut dinyatakan bahwa syarat keselamatan adalah iman dan amal saleh. Apakah yang menjadi hakikat dan obyek iman dan amal saleh tersebut akan sedikit kita singgung dalam tulisan singkat ini.
Iman yang belum teruji tadi (iman zahir) mirip dengan yang disinyalir dalam sebuah ayat 14-15 dari surat al-Hujurat. Allah berfirman:
* ÏMs9$s% Ü>#{ôãF{$# $¨YtB#uä ( @è% öN©9 (#qãZÏB÷sè? `Å3»s9ur (#þqä9qè% $oYôJn=ór& $£Js9ur È@äzôtƒ ß`»yJƒM}$# Îû öNä3Î/qè=è% ( bÎ)ur (#qãèÏÜè? ©!$# ¼ã&s!qßuur Ÿw Nä3÷GÎ=tƒ ô`ÏiB öNä3Î=»yJôãr& $º«øx© 4 ¨bÎ) ©!$# Öqàÿxî îLìÏm§ ÇÊÍÈ $yJ¯RÎ) šcqãYÏB÷sßJø9$# tûïÏ%©!$# (#qãZtB#uä «!$$Î/ ¾Ï&Î!qßuur §NèO öNs9 (#qç/$s?ötƒ (#rßyg»y_ur öNÎgÏ9ºuqøBr'Î/ óOÎgÅ¡àÿRr&ur Îû È@Î6y «!$# 4 y7Í´¯»s9'ré& ãNèd šcqè%Ï»¢Á9$# ÇÊÎÈ
Artinya : “Orang-orang Arab Badui itu berkata: "Kami Telah beriman". Katakanlah: "Kamu belum beriman, tapi Katakanlah 'kami Telah tunduk', Karena iman itu belum masuk ke dalam hatimu; dan jika kamu taat kepada Allah dan Rasul-Nya, dia tidak akan mengurangi sedikitpun pahala amalanmu; Sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang." Sesungguhnya orang-orang yang beriman itu hanyalah orang-orang yang percaya (beriman) kepada Allah dan Rasul-Nya, Kemudian mereka tidak ragu-ragu dan mereka berjuang (berjihad) dengan harta dan jiwa mereka pada jalan Allah. mereka Itulah orang-orang yang benar.”
Rasul yang dimaksud disini adalah rasul utusan Allah yang terakhir karena pasca pengutusan Muhammad saww tidak ada lagi rasul yang diutus. Agama Muhammad adalah agama terakhir, syariatnya adalah syariat terakhir dan kitabnya adalah kitab terakhir. Semua itu bersifat mendunia,[5] karena itu ajarannya berlaku hingga hari akhir zaman kelak. Umat Muhammad mencakup semua manusia pasca pengutusan beliau. Jadi, ketika Muhammad berdakwah kepada umat agama lain maka tidak ada alasan umat tersebut menyatakan bahwa “Aku bukan umat-mu, wahai Muhammad” atau “Engkau telah merebut umat nabi lain, wahai Muhammad”. Maka orang yang beriman dan beramal saleh harus mengikuti segala perintah Allah swt dan selanjutnya mengikuti Muhammad saww dengan semua ajarannya sebagai wujud zahir dari keimanan kepada Allah dan Rasul yang hubungan keduanya bersifat vertikal. Dalam al-Quran terdapat beberapa ayat yang menyejajarkan secara vertikal ketakwaan kepada Allah dan ketaatan kepada Rasul. Allah swt berfirman agar Rasul menyatakan: “Bertakwalah kepada Allah dan taatilah aku”[6]. Atau dalam ayat lain Allah berfirman: “Katakanlah: “Jika kalian (benar-benar) mencintai Allah, ikutilah aku, niscaya Allah mengasihi dan mengampuni dosa-dosa kalian”. Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang”.[7]
Dalam surat lain Allah swt berfirman:
z`ÏBur Ĩ$¨Y9$# `tB ãAqà)tƒ $¨YtB#uä «!$$Î/ ÏQöquø9$$Î/ur ̍ÅzFy$# $tBur Nèd tûüÏYÏB÷sßJÎ/ ÇÑÈ
Artinya : “Di antara manusia ada yang mengatakan: "Kami beriman kepada Allah dan hari kemudian[22]," pada hal mereka itu Sesungguhnya bukan orang-orang yang beriman.”
[22]  Hari kemudian ialah: mulai dari waktu mahluk dikumpulkan di padang mahsyar sampai waktu yang tak ada batasnya.
Dalam ayat ini, Allah swt menyebutkan kata “Di antara manusia”, bukan menggunakan kata “di antara kaum muslimin”, atau “di antara pengikut Muhammad “ atau bahkan “di antara kaum mukmin”. Hal ini meniscayakan bahwa nama orang beriman, orang Yahudi, orang Nasrani atau orang Shabi’in hanyalah gelar zahir yang tidak ada faedahnya di mata Allah. Allah swt tiada akan melihat gelar dan sebutan zahir saja. Hanya iman sejati kepada Allah dan hari akhir (kiamat) plus amal saleh saja yang menjadi tolok ukur sejati di mata Allah dalam memberi keselamatan abadi di alam sana. Atas dasar ini, dalam ayat tersebut Allah swt tidak menggunakan kata “man aamana minhum” (barangsiapa yang beriman dari mereka). Tentu dari sini jelas di mana letak perbedaan antara penggunaan kalimat “barangsiapa yang beriman…” dan kalimat “barangsiapa yang beriman dari mereka”. Dan seandainya Allah swt menggunakan kalimat “barangsiapa yang beriman dari mereka…” sebagai alternatif kedua (dengan menambahkan kata “dari mereka”) , maka hal ini akan memberi konsekuensi sesuai dengan tata bahasa Arab bahwa kata ganti “mereka” tersebut akan kembali kepada sesuatu yang terdekat (al-maushul al-lazim) dari hubungan (shilah) tadi, yaitu kelompok agama-agama. Hal ini dilakukan untuk menjaga urutan (nadzm) yang jelas, sesuai dengan tata bahasa yang tepat[8]. Namun, pada kenyataannya, ternyata Allah swt tidak menggunakan alternatif kedua tersebut. Sayangnya, dalam terjemahan al-Quran berbahasa Indonesia versi DEPAG terdapat kesalahan yang berakibat fatal. Di situ terdapat kata “di antara mereka”, padahal dalam teks asli Arab-nya tidak terdapat kata “minhum”. Kalau kita mau berprasangka baik (husnudzan) terhadap penerjemahan versi bahasa Indonesia tersebut, maka bisa kita katakan; mungkin mereka ingin menjaga tata bahasa Indonesia yang baik, tetapi di sisi lain penerjemahan semacam itu mengakibatkan tidak terjaganya amanat dari bahasa aslinya (Arab) yang tentunya juga bertentangan dengan amanat Ilahi.
Allamah menambahkan terdapat banyak ayat dalam al-Qur’an yang semuanya membuktikan bahwa tolok ukur sejati bagi kemuliaan dan keselamatan sejati adalah penghambaan murni (al-ubudiyah). Penamaan zahir dari kelompok manusia tidak akan bermanfaat sama sekali di mata Allah. Dan tidak ada gelar kesempurnaan apapun bagi suatu obyek yang dapat memberikan kesempurnaan dan keselamatan sejati melainkan penghambaan murni tadi.[9] Dalam tolok ukur penghambaan murni ini, bukan hanya tidak ada beda antara nama dan gelar zahir seperti Islam, Yahudi, Nasrani, Shabiin, Zoroaster, Konfusius dsb, bahkan antara pribadi yang bergelar nabi dan manusia biasa seperti kita pun tidak ada bedanya. Sebagai bukti dari pernyataan ini, silahkan lihat ayat lain dari surat al-‘An’am. Alah swt berfirman: “Itulah petunjuk Allah, yang dengannya Dia memberi petunjuk kepada siapa yang dikehendaki-Nya diantara hamba-hamba-Nya. Seandainya mereka mempersekutukan Allah, niscaya lenyaplah dari mereka amalan yang telah mereka kerjakan”.[10] Juga salah satu ayat dari surat al-Fath, di situ Allah swt berfirman tentang para sahabat Nabi dan orang-orang yang beriman bersamanya dengan ungkapan: “Muhammad itu adalah utusan Allah dan orang-orang yang bersama dengan dia adalah keras terhadap orang-orang kafir tetapi berkasih sayang sesama mereka; kamu lihat mereka rukuk dan sujud mencari karunia Allah dan keridhoan-Nya. Tanda-tanda mereka tampak pada muka mereka dari bekas sujud. Demikianlah sifat-sifat mereka dalam Injil, yaitu seperti tanaman yang mengeluarkan tunasnya, maka tunas itu menjadikan tanaman itu kuat lalu menjadi besarlah dia dan tegak lurus di atas pokoknya. Tanaman itu menyenangkan hati penanam-penanamnya karena Allah hendak menjengkelkan orang-orang kafir (dengan kekuatan orang-orang mukmin). Allah menjanjikan kepada orang-orang yang beriman dan mengerjakan amal yang saleh di antara mereka ampunan dan pahala yang besar”,[11] padahal betapa besar kedudukan dan kemuliaan mereka (para sahabat Nabi), tetapi tetap saja mereka memerlukan ampunan dari apa yang telah mereka perbuat. Ampunan dan pahala besar itu hanya didapat dengan mengimani dan mengamalkan ajaran yang dibawa Muhammad saww. sedang dalam surat al-A’raf, Allah menjelaskan kepada pribadi-pribadi yang diberikan ayat-ayat Allah dengan ungkapan: “Dan kalau Kami menghendaki, sesungguhnya Kami tinggikan (derajat)-nya dengan ayat-ayat itu, tetapi dia cenderung kepada dunia dan menurutkan hawa nafsunya yang rendah, maka perumpamaannya seperti anjing yang jika…”.[12] Semua ayat-ayat tadi sebagai contoh bahwa tolok ukur sejati kesempurnaan, kemuliaan dan keselamatan abadi adalah sesuatu yang bersifat hakiki, bukan kesan zahir saja.
Inilah maksud dan tujuan Allah ketika memberikan petunjuk kepada hamba-hamba-Nya melalui surat al-Baqarah ayat 62 itu. Allah ingin menjelaskan bahwa jangan sampai kita terlena dengan gelar dan penamaan zahir belaka sehingga menghukumi hakikat seseorang hanya dengan gelar itu saja. Namun Allah swt menghendaki yang lebih riil dari itu yaitu menilai seseorang dengan hakikat penghambaan (iman) sejati kepada Allah swt dan iman itu memberikan konsekuensi logis dan riil berupa amal saleh agar hamba tersebut mendapat kemuliaan, kesempurnaan dan keselamatan abadi di akhirat kelak. Penghambaan sejati kepada Allah swt harus didahului dengan iman sejati kepada-Nya dan iman sejati kepada-Nya harus didahului dengan mengenal dan mengesakan-Nya (tauhid). Mengesakan-Nya dalam banyak hal termasuk dalam penghambaan dengan arti yang luas. Salah satunya adalah metaati perintah Allah swt untuk menerima ajaran Muhammad saww sebagai nabi terakhir yang diutus bagi semesta alam. Jadi penghambaan inilah yang menjadi landasan utama iman sejati kepada hari akhir dan amal saleh yang merupakan sarana untuk menuju keselamatan hari akhir.
b.      Qs al-maidah 48
!$uZø9tRr&ur y7øs9Î) |=»tGÅ3ø9$# Èd,ysø9$$Î/ $]%Ïd|ÁãB $yJÏj9 šú÷üt/ Ïm÷ƒytƒ z`ÏB É=»tGÅ6ø9$# $·YÏJøygãBur Ïmøn=tã ( Nà6÷n$$sù OßgoY÷t/ !$yJÎ/ tAtRr& ª!$# ( Ÿwur ôìÎ6®Ks? öNèduä!#uq÷dr& $£Jtã x8uä!%y` z`ÏB Èd,ysø9$# 4 9e@ä3Ï9 $oYù=yèy_ öNä3ZÏB Zptã÷ŽÅ° %[`$yg÷YÏBur 4 öqs9ur uä!$x© ª!$# öNà6n=yèyfs9 Zp¨Bé& ZoyÏnºur `Å3»s9ur öNä.uqè=ö7uŠÏj9 Îû !$tB öNä38s?#uä ( (#qà)Î7tFó$$sù ÏNºuŽöyø9$# 4 n<Î) «!$# öNà6ãèÅ_ötB $YèÏJy_ Nä3ã¥Îm6t^ãŠsù $yJÎ/ óOçGYä. ÏmŠÏù tbqàÿÎ=tFøƒrB ÇÍÑÈ
Artinya: Dan kami Telah turunkan kepadamu Al Quran dengan membawa kebenaran, membenarkan apa yang sebelumnya, yaitu kitab-kitab (yang diturunkan sebelumnya) dan batu ujian[421] terhadap kitab-kitab yang lain itu; Maka putuskanlah perkara mereka menurut apa yang Allah turunkan dan janganlah kamu mengikuti hawa nafsu mereka dengan meninggalkan kebenaran yang Telah datang kepadamu. untuk tiap-tiap umat diantara kamu[422], kami berikan aturan dan jalan yang terang. sekiranya Allah menghendaki, niscaya kamu dijadikan-Nya satu umat (saja), tetapi Allah hendak menguji kamu terhadap pemberian-Nya kepadamu, Maka berlomba-lombalah berbuat kebajikan. Hanya kepada Allah-lah kembali kamu semuanya, lalu diberitahukan-Nya kepadamu apa yang Telah kamu perselisihkan itu,
[421]  Maksudnya: Al Quran adalah ukuran untuk menentukan benar tidaknya ayat-ayat yang diturunkan dalam kitab-kitab sebelumnya.
[422]  Maksudnya: umat nabi Muhammad s.a.w. dan umat-umat yang sebelumnya.
Ayat yang lain yang semakna dengan ayat di atas :
وَلَوْ شَاءَ اللَّهُ لَجَعَلَكُمْ أُمَّةً وَاحِدَةً
  Artinya : “Sekiranya Allah menghendaki, niscaya kamu dijadikan-Nya satu umat (saja)”.
Dengan berhujjah dua ayat di atas mereka mengatakan bahwa ketunggalan dalam beragama dan berkeyakinan tidaklah dikehendaki Tuhan. Sama saja mereka mengatakan bahwa beragamnya agama dan keyakinan di dunia ini karena sudah menjadi kehendak Tuhan. Maka Tuhan memberikan perlindungan-Nya kepada semua pemeluk agama yang berbeda-beda agama dan keyakinannya.
Ayat 118 dari surat Hud di atas dalam tafsir al-Thabari dikatakan:
قال أبو جعفر : يقول تعالى ذكره: ولو شاء ربك ، يا محمد ، لجعل الناس كلها جماعة واحدة على ملة واحدة ، ودين واحد.
Artinya : “Berkata Abu Ja’far: Allah berfirman sebagaimana disebutkan : “seandainya Rabbmu menghendaki wahai Muhammad tentu Dia akan menjadikan semua manusia menjadi umat yang satu millah dan satu dien”.  
Ayat 48 surat al-Maidah dalam tafsir Ibnu Abbas dikatakan:
لجمعكم على شريعة واحدة    
Artinya : “tentu Allah mengumpulkan kamu semua dalam syareat yang satu”. 
Mengambil istimbath dari tafsir dua ayat di atas ialah bahwa umat di dunia ini nyatanya tidak akan bisa disatukan dalam satu millah dan satu syariat. Ada yang beriman kepada ajaran yang dibawa Muhammad saw dan ada yang kafir. Ini sebuah realita, fakta. Hal inilah yang dinamakan pluralitas yang tidak mungkin dihindari.
Dengan demikian pengertian pluralitas bukanlah pluralisme. Pluralisme adalah paham yang menyamakan semua agama dan satu tujuan yaitu menuju Tuhan yang satu. Walaupun berbeda-beda syariat tetap tujuan akhirnya mengerucut kepada satu Tuhan. Pemahaman inilah yang betul-betul membahayakan umat Islam.

c.       QS. Surah An-Nahl : 36
ôs)s9ur $uZ÷Wyèt/ Îû Èe@à2 7p¨Bé& »wqߧ Âcr& (#rßç6ôã$# ©!$# (#qç7Ï^tGô_$#ur |Nqäó»©Ü9$# ( Nßg÷YÏJsù ô`¨B yyd ª!$# Nßg÷YÏBur ïƨB ôM¤)ym Ïmøn=tã ä's#»n=žÒ9$# 4 (#r玍šsù Îû ÇÚöF{$# (#rãÝàR$$sù y#øx. šc%x. èpt7É)»tã šúüÎ/Éjs3ßJø9$# ÇÌÏÈ
Artinya: Dan sungguhnya kami Telah mengutus Rasul pada tiap-tiap umat (untuk menyerukan): "Sembahlah Allah (saja), dan jauhilah Thaghut[826] itu", Maka di antara umat itu ada orang-orang yang diberi petunjuk oleh Allah dan ada pula di antaranya orang-orang yang Telah pasti kesesatan baginya[826]. Maka berjalanlah kamu dimuka bumi dan perhatikanlah bagaimana kesudahan orang-orang yang mendustakan (rasul-rasul).
[826]  Thaghut ialah syaitan dan apa saja yang disembah selain dari Allah s.w.t.
[826]  Thaghut ialah syaitan dan apa saja yang disembah selain dari Allah s.w.t.

Dalam Surat An-Nahl Ayat 36, ayat ini menghibur nabi muhammad SAW, dalam menghadapi para pembangkang dari kaum beliau, seakan-akan ayat ini menyatakan: Allah pun telah mengutusmu, maka ada diantara umatmu yang menerima baik ajakanmu dan ada juga yang membangkang. Dan keadaan yang engkau alami itu sama juga dengan yang dialami oleh para Rasul sebelummu, karena sesungguhnya kami telah mengutus rasul pada setiap umat sebelum kami mengutusmu, lalu mereka menyampaikan kepada kaum mereka masing-masing bahwa: “sembahlah Allah, yakni tunduk dan patuhlah dengan penuh pengagungan kepada tuhan yang maha Esa saja. Jangan menyembah selainnya, apa dan siapapun, dan jauhilah taghut, yakni segala macam yang melampaui batas seperti penyembahan berhala dan kepatuhan kepada tirani. Ajakan para Rasul itu telah diketahui oleh umat masing-masing Rasul maka diantara mereka, yakni umat para rasul itu ada orang yang hatinya terbuka dan pikirannya jernih sehingga Allah menyambutnya dan dia diberi petunjuk oleh Allah, dan ada pula diantara mereka yang keras kepala lagi bejat hatinya sehingga mereka menolak ajakan Rasul mereka dan dengan demikian menjadi telah pasti atasnya sanksi kesesatan yang mereka pilih sendiri itu. Wahai umat Muhammad, jika kamu ragu menyangkut apa yang disampaikan Rasul, termasuk kebinasaan para pembangkang maka berjalanlah kamu semua dimuka bumi dan perhatikanlah bagaimana kesudahan para pendusta Rasul-Rasul.
Kata ( طاغوت ) thaghut terambil dari kata (طغى ) thagha yang pada mulanya berarti melampaui batas. Ia biasa juga dipahami dalam arti berhala-berhala, karana penyembahan berhala adalah sesuatau yang sangat buruk dan melampui batas. Dalam arti yang lebih umum, kata tersebut mencakup segala sikap dan perbuatan yang melampaui batas, seperti kekufuran kepada Tuhan, pelanggaran, dan sewenang-wenangan terhadap manusia. Hidayah (petunjuk) yang dimaksud diatas adalah hidayah khusus dalam bidang agama yang dianugerahkan Allah kepada mereka yang hatinya cenderung untuk beriman dan berupaya untuk mendekatkan diri kepada-Nya. Secara panjang lebar macam-macam hidayah Allah dikemukakakan bahwa dalam bidang petunjuk keagamaan, Allah menganugerahkan dua macam hidayah. Pertama, hidayah menuju kebahagiaan duniawi dan ukhrawi.
Cukup banyak ayat-ayat yang menggunakan akar kata hidayah yangh mengandung makna ini, misalnya:
 وَإِنَّكَ لَتَهْدِي إِلَى صِرَاطٍ مُسْتَقِيمٍ
“Dan sesungguhnya engkau (wahai Nabi Muhammad) memberi hidayah kejalan yang lurus” (QS, Asy-syura’ :52 ), atau :
 وَأَمَّا ثَمُودُ فَهَدَيْنَاهُمْ فَاسْتَحَبُّوا الْعَمَى عَلَى الْهُدَى
“Adapun kaum Tsamud maka kami telah memberi mereka hidayah, tetapi mereka lebih senang kebutaan (kesesatan) daripada hidayah” QS. Fushshilat: 17). Kedua hidayah (petunjuk) serta kemampuan untuk melaksanakan isi hidayah itu sendiri. Ini tidak dapat dilakukan kecuali Allah SWT, karena itu diteaskan bahwa:
إِنَّكَ لا تَهْدِي مَنْ أَحْبَبْتَ وَلَكِنَّ اللَّهَ يَهْدِي مَنْ يَشَاءُ
“Sesungguhnya engkau (wahai Nabi Muhammad) tidak dapat memberi petunjuk (walaupun) orang yang engkau cintai, tetapi Allah yang memberi petunjuk siapa yang dikehendaki-Nya” (QS. Al-Qashash: 56). Allah menganugerahan hidayah kedua ini kepada mereka yang benar-benar ingin memperolehnya dan melangkahkan kaki guna mendapatkannya.
Ketika berbicara tentang hidayah, secara tegas ayat diatas menyatakan bahwa Allah yang menganugerahkannya, berbeda ketika menguraikan tentang kesesatan. Sumber yang digunakan ayat ini adalah telah pasti atasnya sanksi kesesatan, tanpa menyebut siapa yang menyesatkan. Hal ini mengisyaratkan bahwa kesesatan tersebut pada dasarnya bukan bersumber pertama kali dari allah ta’ala, tetapi dari mereka sendiri. Memang ada ayat-ayat yang menyatakan bahwa: “allah menyesatkan siapa yang Dia kehendaki”, tetapi kehendaknya itu terlaksana setelah ang bersangkutan sendiri sesat.
فَلَمَّا زَاغُوا أَزَاغَ اللَّهُ قُلُوبَهُمْ
“Maka ketika mereka berpaling dari kebenaran, Allah memalingkan hati mereka dan Allah tidak memberi hidayah orang-orang fasik.” (QS. Ash-Shaf: 5).



BAB III

PENUTUP

 

 

 

Islam tidak menolak semua bentuk pluralisme agama. Pluralisme agama yang berarti membenarkan semua agama atau menyatakan bahwa semua agama mampu menghantarkan umatnya untuk mendapat keselamatan abadi di akhirat, selain tidak sesuai dengan akal sehat manusia juga bertentangan dengan argumentasi teks agama Islam khususnya al-Quran. Namun ada pengertian lain dari pluralisme agama yang pernah diajarkan dan dipraktekkan oleh Rasul saww, pluralisme agama yang berarti “hidup bersosial kemasyarakatan secara baik, rukun dan damai dengan penganut agama lain” bukan pluralisme agama dalam arti membenarkan semua agama, atau menyatakan bahwa semua agama mampu menghantarkan manusia pada kemuliaan dan keselamatan sejati dan abadi yang merupakan konsekuensi dari pembenaran esensi setiap agama. Dan tentu saja semua yang dilakukan oleh Rasul tidak akan pernah bertentangan dengan al-Quran dan bahkan menjadi argumen (sunnah) bagi segenap kaum muslim di dunia.
Karena dalam tulisan ini ingin dijelaskan kebatilan pemikiran Pluralisme Agama melalui jalur teks agama (khususnya teks ayat-ayat al-Quran), maka cukuplah ayat seperti di bawah ini yang telah diulang tiga kali dalam al-Quran, dengan sedikit perubahan redaksi di akhir ayat yang terdapat dalam surat al-Fath untuk membatalkan Pluralisme Agama yang membenarkan semua agama atau menyatakan bahwa semua agama mampu menghantarkan umatnya untuk mendapat keselamatan abadi di akhirat. Allah swt berfirman: “Dia-lah yang mengutus Rasul-Nya dengan membawa petunjuk dan agama yang hak agar dimenangkan-Nya terhadap semua agama. Dan cukuplah Allah sebagai saksi”. Jika memang semua agama mampu menghantarkan kepada keselamatan abadi, maka tidak perlu Allah swt repot-repot untuk memenangkan agama yang hak dari semua agama batil (baca: sesat/salah) agama batil sebagai lawan dari agama hak yang juga mengklaim mampu melakukan apa yang dapat dilakukan oleh agama yang hak yaitu menyelamatkan umatnya di akhirat kelak.



DAFTAR PUSTAKA

Sayyid Muhammad ‘Alî ‘Iyâzî, Al-Mufassirûn Hayâtuhum Wa Manhajuhum (Teheran; Mu`assasah al-Thibâ’ah Wa al-Nasyr, 1994)
Thâbatabâ`î, Inilah Islam, Upaya Memahami Seluruh Konsep Islam Secara Mudah, (Jakarta: Pustaka Hidayah, 1992 M)
-------------, al-Mîzân fi Tafsîr al-Qur’an (Qum ; Muassasah al-Nasr al-Islâmî, 1995)


[1] Ayat yang muhkamaat ialah ayat-ayat yang terang dan tegas Maksudnya, dapat dipahami dengan mudah.
[2] termasuk dalam pengertian ayat-ayat mutasyaabihaat: ayat-ayat yang mengandung beberapa pengertian dan tidak dapat ditentukan arti mana yang dimaksud kecuali sesudah diselidiki secara mendalam; atau ayat-ayat yang pengertiannya Hanya Allah yang mengetahui seperti ayat-ayat yang berhubungan dengan yang ghaib-ghaib misalnya ayat-ayat yang mengenai hari kiamat, surga, neraka dan lain-lain.
[3] Thaba’thaba’i, Allamah Muhammad Husein, Tafsir al-Mizan jil: 1 hal: 192, Cet: Muassasah al-A’lami lil Mathbuaat, Beirut-Lebanon, thn: 1417 H / 1997 M.
[4] Lihat ayat-ayat seperti: QS al-Baqarah: 25/82/277, aali Imran: 57, al-Maidah: 69, an-Nahl:97, al-Kahfi:88, Maryam: 60, Thaha: 62, al-Furqon: 70, al-Qoshos: 67, Ghafir: 40 dan lain sebagainya
[5] Mengenai sifat mendunianya agama Islam Muhammadi dapat dilihat dalam berbagai ayat al-Quran seperti; QS as-Saba’: 28, al-Furqon: 1, at-Takwir: 27, dan lain sebagainya.
[6] Lihat: QS as-Syu’ara’ ayat: 108, 110, 126, 131, 144, 150, 163, 179.
[7] QS aali Imran: 31.
[8] Thaba’thaba’i, Allamah M.Husein, Tafsir al-Mizan jil: 1 hal: 192
[9] Ibid.
[10] QS al-An’am: 88.
[11] QS al-Fath: 29.
[12] QS al-A’raf: 176.

0 komentar:

Jangan Lupa Komentar Looo...

Share

Twitter Delicious Facebook Digg Stumbleupon Favorites More

 
Design Downloaded from Free Blogger Templates | free website templates | Free Vector Graphics | Web Design Resources.